Jika ada seorang anak gadis mengatakan pada orangtuanya bahwa ia akan menikah atau ia sudah punya pasangan hidup, maka biasanya ia akan di berondong pertanyaan oleh orangtuanya, “Dia pekeerjaannya apa?, kerja dimana?, penghasilannya berapa sebulan?. Atau dengan pertanyaan lain yang masih sejenis. Dan bila kita translit dengan bahasa lain, “Cinta
sich boleh saja, tapi kan cintakan tidak hanya cukup dengan cinta, dalam cinta harus ada kepastian masa depan. Ada proses materialisasi cinta, kalkulasi hati dan status sosial. Bukan karena orangtua hendak menarik keuntungan bagaikan seorang saudagar atau mengeruk keuntungan, tapi semata-mata hanya ingin melihat sang anak bahagia.
Sudah barang tentu, semua orangtua ingin melihat anaknya bahagia, sekarang dan masa datang, maka jika perlu pakai rumus : “Masa kecil bahagia, remaja dimanja, dewasa dapat suami kaya, punya anak cantik jelita dan mati masuk surga. Ideal memang rumus tersebut, tapi jauh dari pada itu persoalannya, apakah arti kebahagiaan itu dan siapakah yang akan menikmati kebahagiaan itu? Semuanya relatif, absurd dan abstrak. Oleh karena jawaban dari pertanyaan tersebut bersifat individual, pribadi, non-eksak dan tak ada standarisasi yang pasti, maka orangtua mengambil jalan pintas dan potong kompas, ukuran kebahagiaan minimal adalah jaminan hidup mapan dalam arti jaminan yang berupa materi.
Persoalannya lagi adalah, dapatkah cinta dilihat dari sudut pandang logika? Sedangkan dalam kehidupan ini ada hal-hal yang tak dapat di logika. Karena sesungguhnya logika dalam cinta adalah tak mengenal apa-apa. Cinta hanya mengenal cinta. Seandainya cinta dilogikakan dengan angka, maka itu cintanya kaum pedangang. Dan dalam logika kaum pedagang adalah yang penting untung. Tetapi bagaimana mungkin cinta di pandang dari sudut untung-rugi?
Jika cinta dilihat dari untung-rugi, maka betapa banyak kerugian yang di derita oleh kaum pecinta, karena tangis dan air mata, tidur yang tertunda, jiwa yang selalu berkhayal tentang kekasihnya, ribuan rangkaian kata yang berterbangan lewat surat, rayuan maut yang di kumandangkan via telpon bersamaan larutnya pulsa atau bahkan berapa banyak pengorbanan yang ia korbankan. Semua itu tak ternilai harganya. Dan oleh kaum pecinta, semuanya tak di anggap sebagai pengorbanan. Karena bagi mereka dalam cinta tak ada istilah pengorbanan.
Lantas di manakah ukuran cinta sejati itu? Apakah cinta yang sejati hanya di miliki oleh Qais dan Layla, Romeo dan Julietnya, Hamid dan Zainab. Mungkin di hati, bisa di rumah mewah, di langit atau nirwana atau mungkin di tanah pekuburan.
Di saat belaian tangan cinta menyentuh sukma, maka tiadalah artinya kekejaman bangsa Romawi, bengisnya Bangsa Bar-bar tak akan sanggup ‘tuk melawannya. Memang benar apa yang dikatakan Plato “Pada sentuhan cinta setiap orang menjadi penyair”. Cinta akan membuat penakut jadi pemberani seperti Iskandar Zulkarnain, cerdik melebihi Albert Einstein. Dan jiwanya selembut angin yang bertiup sepoi-sepoi di sore hari.
Kaum pecinta tidak akan meneteskan air mata dari matanya, melainkan darah dari jantungnya.bg mereka tiada ada kata yang terindah kecuali kata yang keluar dari hati yang terpancar melalui mata sang kekasihnya. Bahasa kalbu yang di transfer lewat mata bagai sinar mentari yang memberikan sumber kehidupan. Untaian kata yang keluar dari mereka akan menjelma menjadi sebuah kitab suci, luhur dan tak terbantahkan.
Jika demikian adanya, apa dan siapakah makhluk yang bernama Cinta? Apakah Qais Dan Layla, Romeo dan Juliet dan Hamid dan Zainab yang mampu menjawab. Mereka hanya mampu merasakan kehadiran cinta, meminum pahit getirnya empedu perpisahan, namun mereka tak sanggup berbicara apa-apa tentang cinta.
Cinta adalah misteri, bagi mereka harta, pangkat dan kekayaan dunia dengan seluruh isinya tidak ada bandingannya bagi mereka. Sudah banyak cerita tentang cinta di dunia ini yang menjelaskan ketidakjelasan cinta. Namun sayang tidak semua manusia yang memiliki cinta. Cinta yang tercemar oleh rezimnya otoriter, kaum kapitalis-feodalis, penganut faham materialistis dan kebanyakan politisi. Di hati mereka tidak ada cinta, hingga gemar menumpahkan darah, memakan bangkai saudara sendiri dan menghisap tenaga manusia dengan upah rendah, mempolitisir serta mengeksploitir jiwa-jiwa manusia hanya demi kekuasaan, takhta dan status sosial.
Padahal cinta itu buta. Buta akan kekuasaan, takhta serta status sosial. Cinta adalah sebuah daya dorong yang melahirkan dinamika dalam hidup dan kehidupan dan tetap bertahan dari generasi ke generasi. Cinta adalah bentangan sejarah yang ceritanya tetap relevan, di kenang dan di pikirkan serta ceritanya dikisahkan.
Kisah cinta dua anak manusia yang masih terbelenggu dalam kelaziman adat-istiadat yang telah tumbuh mengakar di tengah masyarakat. Cinta yang harus kalah dengan pertanyaan “Apa yang ia miliki” , “Dia tak sepadan dengan kita” atau masih banyak lagi pertanyaan yang semakna.
Sejatinya, kebanyakan gadis memiliki sifat yang lugu, jujur dan mempunyai cinta yang tulus, namun ketika sentuhan-sentuhan dunia luar meninabobokannya, ia bingung, gamang, bimbang serta tidak sabar dalam proses penyesuaian diri.
Sehingga akhirnya cinta mereka harus berakhir dengan tragis, gara-gara orangtua dan lingkungan yang tak mengijinkan ia berhubungan dengan lelaki yang menurut mereka tidak mempunyai masa depan. Namun masa depan tidak selalu dapat di rencanakan, terkadang muncul secara tiba-tiba dan menuntut manusia untuk menggapai sukses.
Mungkin ini hanya sebuah wacana, namun tidak menutup kemungkinan terjadi di alam ini. Sebagai bahan renungan bagi para orangtua, masyarakat dan diri kita masing-masing agar lebih bijak dalam mengambil keputusan, lebih arif dalam menyikapi masalah sehingga dalam mengambil sebuah keputusan bukanlah keputusan dari sebelah pihak. Alangkah lebih ideal jika anak mengikuti apa kata orangtuanya sedangkan orangtua mendengarkan keluh kesah anaknya. Sehingga dapat di ambil titik temu dari keduanya dan mengambil keputusan dari ke dua belah pihak.