Kata adat dan ‘urf di adopsi dari bahasa arab. Secara etimologi, a’dat berasal dari kata عَادَ - يَعُوْدُ yang artinya kembali, mengulangi (berulang-ulang). Sedangkan ‘urf dari kata عَرَفَ – يَعْرِفُ yang artinya baik dan sesuatu yang sudah di ketahui oleh kalangan umum (orang banyak). Perbedaan di atas menurut ahli bahasa, sedangkan menurut ahli Syara` ‘urf itu sendiri bermakna adat dengan kata lain ‘urf dan adat itu tidak ada perbedaan. Jadi, tidak ada perbedaan yang signifikan antara adat dan ‘urf, dikarenakan pengertian keduanya sama, yaitu perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan sehingga menjadi di kenal dan di akui orang banyak. Walaupun ke dua kata itu berbeda, namun tidak berarti.
Dalam pembahasan mengenai seputar hukum Islam, ada beberapa disiplin ilmu yang menyokong kita untuk memahami latar belakang kemunculan sebuah ketentuan hukum dalam Islam sehingga kita mampu memahaminya secara langsung di keseharian. Salah satu disiplin ilmu yang di anggap begitu signifikan dan memiliki peranan dalam kerangka metodologi hukum adalah adat (‘urf) dalam Ushul Fiqh (Ushûl al-Fiqh) sebagai acuan hukum yang diambil dari tradisi-tradisi (kebudayaan) sebuah masyarakat tertentu.
Kalau kita tarik lembar sejarah Arab Jahiliyah, maka akan kita dapati tradisi, adat dan kebudayaan yang sudah kuat mengakar di kalangan mereka. Dari sekian banyak adat dan tradisi bangsa Arab Jahiliyah, ada yang ditetapkan oleh Islam dan ada juga yang di hapus karena keberadaannya tidak sesuai dengan koridor syariat. Adapun tradisi Arab Jahiliyah yang di hapus adalah mengubur anak perempuan hidup-hidup, minum arak (khamr), menyebah patung, arca dan berhala sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Sedangkan tradisi yang ditetapkan oleh syariat adalah keramah-tamahan mereka dalam menjamu, menghormati dan memuliakan tamu.
Dilihat dari contoh diatas, dapat dibedakan bahwa ‘Urf menurut para Ulama di bagi membagi menjadi dua, yaitu ‘Urf Shahih dan ‘Urf Fasid. Dalam pembagian ‘Urf ini, menunjukkan kegunaan dan hukum ‘Urf yang disesuaikan dengan syariat. Adapun ‘Urf Shahih adalah ‘Urf yang tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Al-Hadist, yang sifatnya tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Lalu ‘Urf Fasid adalah ‘Urf yang bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah serta menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. (Ensiklopedia Hukum Islam).
Lain halnya dengan pengertian adat (urf) menurut syariat, penggunaan kata adat di bumi nusantara kita khususnya Suku Melayu adalah aturan yang lazim di patuhi dan di turuti tanpa melihat baik dan buruknya. Sebagai pendekatan, mereka akan marah ketika di katakan “Tidak beradat, kurang adatnya dan adatnya pas-pasan”. Oleh karena itu, adat merupakan hukum tidak tertulis dan sekaligus sebagai sumber hukum. Sebelum hukum Barat masuk ke Indonesia, adat adalah satu-satunya hukum rakyat yang kemudian disempurnakan dengan hukum Islam, sehingga disebut “adat bersendikan syarak”. Menyatunya adat Melayu dengan hukum syarak diperkirakan terjadi setelah Islam masuk ke Malaka pada akhir abad ke-14, sebagaimana diungkapkan Tonel (1920): “ Adat Melayu pada mulanya berpangkal pada adat-istiadat Melayu yang digunakan dalam negeri Tumasik, Bintan, dan Malaka. Pada zaman Malaka, adat itu menjadi Islam karena rajanya pun telah memeluk Islam”.
Ketentuan-ketentuan hukum syarak telah dianggap sebagai adat yang dipatuhi oleh anggota masyarakat, sehingga sukar untuk membedakan ketentuan-ketentuan yang berasal dari adat murni dan ketentuan-ketentuan yang berasal dari hukum syarak.
Secara umum adat (urf) diamalkan oleh semua kalangan ulama fiqh terutama di kalangan madzhab Hanafiyyah dan Malikiyyah. Ulama Hanafiyyah menggunakan istihsân (salah satu metode ijtihad yang mengambil sesuatu yang lebih baik yang tidak diatur dalam syara`) dalam berijtihad, dan salah satu bentuk istihsân itu adalah istihsân al-‘urf (istihsân yang menyandarkan pada ‘urf). Oleh ulama Hanafiyyah, ‘urf itu didahulukan atas qiyâs khafî (qiyâs yang ringan) dan juga didahulukan atas nash yang umum, dalam arti ‘urf itu men-takhshîs nash yang umum. Ulama Malikiyyah menjadikan ‘urf yang hidup di kalangan penduduk Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum. Ulama Syâfi`iyyah banyak menggunakan ‘urf dalam hal-hal yang tidak menemukan ketentuan batasan dalam syara` maupun dalam penggunaan bahasa. Imam Syafi’i pun mempunyai dua pendapat (qaul qadim dan qaul jadid). Qaul qadim adalah pendapat beliau ketika berada di Baghdad, sedangkan qaul jadid ketika beliau bermukim di Mesir. Perbedaan yang melatarbelakangi qaul tersebut adalah karena perbedaan urf masyarakat di ke dua negeri tersebut. Dalam menanggapi adanya penggunaan ‘urf dalam fiqh, al-Suyûthî mengulasnya dengan mengembalikannya kepada kaidah fiqhiyah : اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَة (adat itu dapat menjadi pertimbangan hukum).
Jadi, suatu adat-istiadat yang turun temurun dari generasi ke generasi yang lain, lantas langsung di terima tanpa harus memilah dan memilih antara mana yang baik dan mana yang buruk, padahal dalam mengimplementasikan suatu adat (‘urf) pada masyarakat harus memenuhi syarat dan ketentuannya menurut syariat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar